14 May 2011

Cerpen - Pembunuhan Di Toilet Terkunci

Karena posting kemarin hilang, so gw posting lagi dech cerpen ini. Ini cerpen yang nyaris di terbitkan oleh Diffa Majalah, karena terlalu panjang (max 5000 karakter) jadi cerpen ini ahirnya nggak jadi dech diterbitin :-(. Padahal ini karya terbaik gw :narsis! Wal al-hasil di terbitin di blog tercinta ini aja dech! :-)

Suasana makin ramai, saat rombongan penumpang yang baru mendarat muncul di ruang tunggu. setiap orang berhambur ke tujuannya masing-masing.
Di suatu sudut, seorang wanita berumur sekitar tiga winduan sedang mengamat-amati wajah orang-orang yang sedang berlalu-lalang. Matanya yang biru cerah menatap tajam ke arah jam dinding raksasa yang terpampang di pucuk dinding ruangan. Saat itu, jarum pendek dan panjang sedang kompak menunjuk ke arah utara yang menyiratkan udara sedang panas-panasnya di ibu kota.

"Lama sekali dia!" Gumamnya dalam hati.
"Ada yang bisa saya bantu nona?"Ada yang mendekat, yang lain menoleh cepat,

dilihatnya seorang petugas memakai seragam lengkap, dengan tinggi badan hampir sama dengan suaminya, sekitar dua meter kurang lima senti.

"Saya sedang menunggu seseorang!" Ketusnya sembari masih acuh mencari sosok yang ditunggunya.

Tepat pada saat itu, seorang pria memakai jas coklat gelap, berambut pirang agak gondrong, berjalan ke arah mereka.
"Hi honey!" Tegurnya seraya memeluk pinggang gadis itu. Kontak gadis di pelukannya mencium kedua pipinya.

"Sudah lama menunggu?"
"Emh, baru sekitar tiga puluh menit! untung ada bapak yang baik ini yang menemaniku."
Lelaki berambut pirang spontan menoleh kepada petugas berseragam.
"Saya mengira nona ini sedang dalam kesulitan." Ucap yang disebut belakangan.
"Ya terima kasih, mungkin nanti dia akan dapat kesulitan ha ha ha" balasnya ramah sambil menjabat petugas berseragam.

"Kau terlihat lebih tampan dear!" Puji si wanita sambil menepuk pipi si pirang.
"Tak percuma aku merubah penampilan ha ha ha! Ayo honey, aku ingin jalan-jalan dulu sebelum pulang." , Pria berambut pirang berjalan menjauh dan wanita di belakangnya mengikuti.

"Jam setengah satu ada simulasi terrorisme di sini!" Teriak petugas berseragam bersemangat.
"Saya sudah tau pak, jadi saya terbang lebih awal." Teriak pria pirang tanpa menoleh sedikitpun.

***

Cepat sedikit!" Teriak wanita yang baru diketahui bernama jane white di depan sebuah toilet pria di sudut ruangan. Gayanya yang agak congkak terus mengetuk-ngetuk pintu yang masih tertutup rapat.
"Cepat dear, sebentar lagi ada simulasi!" Dia berteriak lagi, sambil mengamati jam di dinding. Saat itu jarum panjang telah berada di angka delapan yang berarti simulasi telah terlambat sepuluh menit.
"Cepatlah dear, kau sudah setengah abad di sana!" Tak ada jawaban, hingga terdengar pecahan yang nyaris menyerupai ledakan yang diikuti suara serine mengaung beriringan di seisi gedung.
Jane sempat panik dan diapun menggedor pintu lebih keras lagi. Seorang pria muncul dari balik pintu dan langsung menyuruh Jane masuk ke dalam toilet. Sejenak Jane berpikir sambil melirik ke tulisan "Sedang Dalam Perbaikan" yang tergantung di daun pintu.
"Jangan pikirkan! ini bukan simulasi!" Si pria berteriak keras sambil mendorong tubuh Jane dengan kasar, lalu membanting pintu menutup.
"Kunci pintunya!" tambahnya lagi sembari berlarian keluar dari sudut itu.

***

"Mengapa serine sudah berbunyi?" Bentak Budi Danuarta kepada staf yang duduk di depannya, tapi sebelum yang lain menjawab dia meraung lagi, "Padahal simulasi belum dimulai kan? petugas belum siap kan? Pengawas juga belum datang kan? apa-apaan ini!" Dia mondar-mandir dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku jasnya.
"Mohon maaf pak, ini pasti ada kesalahan teknis." Ucap pria yang sedang duduk kepada atasannya.

Hening sejenak, sampai ada suara mengetuk pintu di belakangnya.
"Masuk!" Teriak Budi Danuarta yang tidak lain adalah kepala keamanan bandara.

Pintu terbuka, seorang petugas berseragam memasuki ruangan.
"Selamat siang pak," Ucap yang baru datang sembari memberi hormat.
"Silahkan duduk." Respon Budi Danuarta agak melunak dan menjatuhkan tubuhnya yang besar pada kursi di belakang meja kerjanya.
"Kelihatannya ada yang penting??" Lanjutnya serius.
"Begini pak, bunyi serine baru diketahui diakibatkan oleh kaca di salah satu toilet yang dipecahkan."
"Kau sudah memeriksanya?"
"Belum pak, kami akan melakukannya setelah mendapatkan izin dari anda."
"Kenapa harus mendapat izin dari saya? bukannya ini hal sepele?" Nada suara Danuarta makin meninggi.
"Mungkin hal ini hal sepele pak, tapi kami mendapat kesan ganjil saat akan memeriksa."
"Kesan ganjil? lelucon apa ini? jangan bikin saya naik darah!" Teriaknya sambil kembali berdiri tegak.
"Petugas itu diam sejenak, lalu memulai dengan napas panjang dan berkata,"Toilet itu terkunci dan kami harus meminta izin untuk mendobraknya. Selain itu, ada yang lebih ganjil lagi."
"Apa?"
Petugas cepat melanjutkan, "Ada asap yang cukup tebal keluar dari selah-selah pintu toilet dan salah satu dari kami tak sadarkan diri saat mendekat."

Kembali hening, hanya suara sepatu Danuarta yang menderap dipantulkan oleh dinding ruangan yang berbentuk segi empat, lalu dengan gerakan cepat dia duduk sambil mengangkat kepalanya dan berkata, "Kerahkan semua petugas untuk memeriksa, bila dibutuhkan petugas gabungan simulasipun bisa disertakan. Jangan lupa memakai masker, ada kemungkinan asap itu beracun."
"Siap pak!" Jawab petugas berseragam sembari memberi hormat, lalu berbalik dan berlari cepat.

***

Seorang pria pendek gemuk sedang berjalan santai di salah satu koridor. Rambutnya yang sedikit beruban mengisyaratkan dia berumur lebih dari setengah abat. hampir tak disadarinya, di sebelahnya berjalan beriringan seorang pria jangkung berumur kira-kira pertengahan tiga puluhan dengan rambut yang agak botak di keningnya. Penampilan dengan jas hitamnya yang rapih, menandakan dia dari kalangan atas dan terpelajar.
"Maaf sebelumnya, saya mengenali anda. Ada kasus yang harus anda tangani di sini pak?" tanya pria yang disebut belakangan.
Pria pendek tidak menoleh, matanya yang hitam terus melihat ke depan, tapi dia mendengar pertanyaan rekan di sebelahnya.
"Bisa panggil saya dim saja?" Ucapnya tanpa ekspresi.
"Baik dim, ada yang harus kau selesaikan di sini?"
"Sebenarnya tak ada, aku ke sini hanya untuk meninjau kegiatan di bandara ini."
"memangnya ada kegiatan apa?"
"Semisal simulasi terrorisme mungkin!"
"Mungkin? apa kau tidak yakin?"
"hmm, aku harap aku akan memecahkan hal yang lebih rumit." Ucapnya lesu.

Selanjutnya mereka berjalan dengan diam, sampai langkah mereka terhenti di sebuah sudut.

***

"Cepat angkat tubuhnya!" Seru pria yang tidak bukan adalah Budi Danuarta.

Semua petugas yang berseragam oranye dengan cekatan mengangkat sesosok tubuh yang meringkuk di lantai toilet. Dua orang petugas bermasker bergerak cepat memeriksa setiap sudut ruangan. Asap yang cukup tebal sukses menghalangi pandangan mereka. Danuarta mondar-mandir di dalam ruangan toilet dan memandang ke segala arah.
Mungkin karena berpikir tak ada yang bisa dia lakukan, diapun memutuskan keluar dari toilet dan bergabung dengan rekan-rekannya di luar.

"Apakah dia," Ucapannya terhenti saat dia melihat sosok wanita yang memucat di hadapannya.
"Dia sudah mati." Yang lain menjelaskan.
"Apa kita bisa melakukan sesuatu untuknya?" Suaranya yang bergetar menandakan dia sedikit gugup. Tak bisa di salahkan, karena semasa setengah dekade dia memimpin, baru kali ini terjadi hal yang bisa menggemparkan media di seluruh negri.
"Sayangnya tidak," Yang lain melanjutkan.

Tepat saat itu, seorang pria jangkung berlarian sambil menutup hidungnya dan berkata, "Dia istriku!"
Kontak semua menoleh padanya. Lalu dengan karisma seorang pemimpin Danuarta berkata, "Urus mayatnya, kita bisa bicarakan ini di kantorku dengan nyaman tanpa masker.

Dia berjalan mendahului dan melihat sesosok pendek gemuk di depannya, "Kau juga boleh ikut." Lanjutnya sambil berjalan. Dim Bakhtiar dengan cepat berbalik dan mengikutinya.

***

"Aku tak tahu apa persisnya yang terjadi. Ini terlihat seperti kecelakaan." Danuarta berkata serius dari balik mejanya.
"Tapi tak mungkin kecelakaan mengikut sertakan zat yang bukan pada tempatnya!" Serentak setengah lusin orang di ruangan itu menoleh pada sosok tubuh pendek gemuk. Wajahnya yang tadi terlihat bosan kini terlihat lebih bersemangat.
"Ini pasti pembunuhan." Geramnya lagi.
"Tapi kau tahu toilet itu terkunci kan?" Debat Danuarta.
"Mungkin, aku tak tahu persis, tapi lebih bijaksana bila kita melanjutkan setelah petugas selesai melakukan penyelidikan." Semua terlihat mengangguk dan terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.

Hampir sepuluh menit berlalu, ahirnya terdengar ketukan di pintu memecah keheningan.
"Silahkan masuk." Terriak Danuarta bersemangat.

Seorang petugas masuk dan menutup kembali pintu. Di tangannya terlihat laporan untuk atasanya.

"Ini laporan untuk anda pak," Ucapnya sambil menyodorkan dua lembar kertas di atas meja. Sejenak Danuarta seperti akan mengucapkan terima kasih, tapi tangannya yang kekar beralih mengambil dua lembar kertas yang telah pasrah dibaca di atas meja.

"hmm" Tak ada yang berbicara, semua mata terlihat menunggu giliran membaca. Akan tetapi, hampir seprapat jam berlalu tak ada tanda-tanda Danu akan berhenti memandangi kertas yang sekarang semakin lusuh di tangannya.

"Apa yang terjadi?" Ucap Dim Bakhtiar memecah keheningan.
"Sekali lagi aku mengatakan aku tak tahu apa yang terjadi, ini masih seperti kecelakaan, bahkan seperti bunuh diri." Jelas Danuarta lemah sambil menyerahkan laporan itu ke hadapan Bakhtiar.

Perlahan mata hitam Dim Bakhtiar menelusuri guratan-guratan hitam di kertas laporan yang di pegangnya lembut seolah kertas itu sesuatu yang sangat berharga.
"Bagaimana Dim?" Tanya Artur White kepada pria yang hampir lima menit membisu. Bakhtiar menoleh dan berkata, "Sebentar lagi mungkin aku akan memecahkannya.
Terlihat Danuarta menyeringai penuh arti.
"Aku yakin ini pembunuhan!" Ucap Mr. White berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Tenanglah Artur, percayalah aku akan memecahkannya." Ujar Bakhtiar menghibur Artur White.
"Tidak mungkin Dim,"
"Kau bisa diam Dan?" ucap Bakhtiar tanpa menoleh.
"Ini kantorku!"
"Semua orang tahu, tapi aku sedang berkonsentrasi." Lanjutnya tenang.

Kembali sunyi, Budi Danuarta terus mengamati wajah Bakhtiar, sedangkan Artur White masih berjalan mondar-mandir.

Di dalam pikirannya, Artur White sedang mengenang mendiang istrinya Jane.
"Wanita yang cantik." Ujarnya dalam hati.
Dia sangat mengenal karakter wanita yang telah tiga tahun hidup bersamanya. Sikap istrinya yang tegas dan agak cerewet masih membayang di dalam sel-sel otaknya. Walau demikian, kerap kali dia mendapati istrinya kencan dengan setengah lusin pria. Mungkin hal itulah yang menyebapkan rumah tangganya kurang harmonis.

"Aha!" Teriak Bakhtiar dan serentak tujuh pasang mata mengarah kepadanya.
"Apa sel otak tuamu menemukan hal yang cemerlang?" Tanya danu agak merendahkan.
"Mungkin, tapi aku harus memastikan apa yang dilakukan oleh Mrs. White di tempat ini."
"Tentu saja, dia pasti salah satu penumpang kan? itu sangat mudah." Ujar Danuarta.
"Menurutku tidak,"
"Maaf?"
"Ya," Lanjut Bakhtiar tenang, "Dia menjemput seseorang, dan seperti yang kita ketahui, dia menunggu suaminya Mr. White bukan?"
"Ya, itu benar!" teriak Artur dari salah satu sudut.
"Ya... ya... ya, yang sedikit ganjil, Mrs. White berada di sini mungkin kira-kira satu jam lebih awal dari jadwal pendaratan suaminya."

Bakhtiar berhenti, seperti menunggu efek dari ucapannya.
"Teruskan!" Ucap Danu bersemangat.

"hmm, untuk itu, aku membutuhkan jadwal penerbangan tiga jam kebelakang dari bandara... maaf Artur?"
"Ya?" Artur White menatap Dim Bakhtiar agak heran.
"Maksudku bisakah kau memberi tahu kami dari bandara mana kau mengudara?"
Artur White berpikir sejenak lalu berucap, "Ngurah Rai, Denpasar Bali."
"Ya... ya, sama sepertiku rupanya!" Ucap Bakhtiar bersemangat.
"Ya, mungkin sebuah kebetulan!" Tambah Artur White.
"Baik, aku akan menyediakan dalam waktu lebih kurang lima... tidak, sepuluh menit." Ujar Danuarta cepat seolah ingin ikut dalam pembicaraan yang didominasi oleh Dim Bakhtiar.
Bakhtiar mengangguk, lalu kembali menatap laporan yang masih di pegangnya.
"Seperti yang dilaporkan, Pembunuhan terjadi sekitar jam satu kurang dua puluh menit dan penyebap kematian korban, akibat terlalu banyak menghirup asap yang mengandung bubuk Sianida."
"Ya, dan sepintas aku mencium bau rambut yang terbakar." Jelas Danuarta. "Oke, lanjutkan Dim"
"Ya, di sudut ruangan ditemukan rambut yang menjadi sumber asap, selain itu terdapat pecahan kaca di lantai yang disebabkan pecahnya kaca toilet."
Dia berhenti dann mengangguk-angguk.
"Kesimpulanku, pelaku membakar Bubuk Sianida berserta sejumput... tidak, mungkin juga rambut atau rambut palsu."
"Lalu?" Ucap Danuarta tertarik.
"Emh, pelaku tahu akan diadakan simulasi terorrisme di sini. Apakah simulasi telah dilakukan?"
"Mana mungkin kami lakukan, sedangkan kau belum hadir di sini." Ujar Danuarta agak menyeringai dan bernada mencemu.
"hmm, aku minta maaf, tapi ini mengisyaratkan ada yang tidak beres di bandara ini. Mungkin pelaku akan melakukan pembunuhan saat riuh simulasi, karena semua orang tak terpokus. Tapi sepuluh menit simulasi terlambat dan dia hawatir rencananya gagal. Untuk itu,"
"Jangan berbelit-belit" Ucap Danuarta agak meninggi.
"Tenang dulu pak!" Ucap salah satu petugas di ruangan itu. Sepintas mata Danuarta menatap tajam kepada yang berucap belakangan, lalu kembali beralih ke Bakhtiar, "Lanjutkan."

"Ya, dia panik karena sudah membakar rambut yang telah bercampur dengan bubuk sianida. Alih-alih membunuh, malah dia yang terbunuh. Lalu dia memecahkan kaca toilet agar serine berbunyi dan semua orang mengira simulasi sedang berlangsung."
"Ya... ya, cukup cerdik, tapi apakah itu menunjukan siapa yang membunuhnya?" Ucap Danuarta merendahkan.
"Tapi ini pantastis sir, paling tidak kita tau penyebab terjadinya kecelakaan ini." Saut petugas yang lain.
"Bukan kecelakaan, tapi pembunuhan." Koreksi rekannya.
"Ya... ya, lalu?" Danuarta kembali menatap Bakhtiar.
"Kita tunggu laporan selanjutnya." Lanjut Dim Bakhtiar sembari menyandarkan tubuhnya yang gemuk dan Terdengar ketukan pintu di belakangnya.

"Kelihatannya yang kita tunggu telah datang, silahkan masuk!" ujar Danuarta.

Seorang petugas bertubuh jangkung dan memakai seragam lengkap masuk keruangan. Matanya yang hitam menyapu seisi ruangan dan berhenti pada wajah Artur White.

"Dia Mr. White, suami korban." Ucap Danuarta mengalihkan perhatian petugas yang tertegun.

"Apa ada yang tidak beres?" Ucap Bakhtiar nimrung.
"Ya, sepertinya aku mengenalinya! dia... tidak, orang yang bersama korban tadi berambut gondrong pirang, dan memakai jas coklat gelap. Tapi cukup mirip." Lanjut petugas yang baru datang.
"Maksudmu, kau melihat Mrs. White sebelum kejadian itu?"
"Ya, sekitar tengah hari, tapi aku tak tau pasti jam berapa. Dia menjemput seorang pria yang berambut pirang dan berjas coklat gelap."
"Lalu kemana mereka setelah itu?" tanya Bakhtiar bersemangat. Sepintas matanya beralih kepada Artur White, dan agak tertegun saat dia melihat Mr. White menegakan kera jas menutupi lehernya yang jenjang. Seperti mengetahui apa yang dipikirkan Bakhtiar, Artur White cepat berkata, "Ruangan ini terlalu dingin untuku." Dan kembali menundukan wajahnya.
"Aku tak tahu pasti, kukira dia berjalan-jalan terlebih dahulu di gedung ini." Jawab petugas yang tadi ditanyai.
"ya... ya," Bakhtiar mengangguk penuh arti.
Petugas berseragam menyerahkan lembaran-lembaran laporan kepada Budi Danuarta yang dengan tergesah menyambar dan mencari-nyari sebuah nama.

"Mungkin dia menjemput kekasihnya?" Artur White kembali membuka bicara.
"Maksud anda? bukankah korban menjemput anda?" Danuarta cepat menoleh dan berujar.
"ya, kadang kala aku mendapatinya sedang bersama pria lain."
"maksudmu?" Bakhtiar tertarik.
"Ya, dia acap kali berselingkuh." Lanjut Artur White sambil menundukan wajahnya yang memerah.

Bakhtiar kembali mengangguk penuh arti lalu berucap, "Apakah kau menemukan namanya?"
"Ya, dia berada dua bangku di depanmu." Jawab Danuarta.
"ya... ya," Kembali Bakhtiar mengangguk dan berkata, "Mungkin terlalu cepat, tapi sepertinya aku telah mengetahui pembunuhnya!" teriaknya sambil berdiri tegak.
Spontan semua mata mengarah kepadanya.
"Aku bisa menjelaskan." Dia berhenti dan mengatur napasnya, "Aku masih tidak percaya kalau korban menunggu dua pria yang mendarat hanya berselang satu jam. Seperti dugaan awalku, pembunuh sudah tahu akan diadakan simulasi di sini dan dia memajukan satu jam keberangkatannya.."
"Menurutku korban memang menunggu kekasihnya, karena korban memanggil pria itu dear!" Petugas yang terahir hadir memotong.
"Bisakah kau tidak memotong?" Bentak Danuarta dan kembali menatap serius Bakhtiar.
"Ya, itu makin memberi bukti." Perlahan matanya mengarah ke Artur White. "Maaf Artur apakah Mrs. White juga memanggil anda dear?" Tanya Bakhtiar.
"Aku kira banyak pasangan seperti itu." Jawab Artur singkat.
"ya, dan itu semakin menguatkan."
"Maksudmu?" teriak Artur White tajam kepada Bakhtiar.
"Kau pembunuhnya." Serentak mata seisi ruangan mengarah kepada Bakhtiar, kemudian beralih kepada Artur White, tapi Bakhtiar amat menikmati sensasinya.

"Bisa kau jelaskan kekeliruan ini?" Ucap Danuarta sama tajam.
"Dan kau tahu aku berada satu pesawat denganmu!" bentak Artur White berjalan mendekat.

"Baik, aku harap kalian tenang. sebenarnya, Mr. White sudah berada di sini sejak tengah hari dan dia tidak berada di pesawat yang sama denganku."
"Tapi namanya?"
"Tenang dulu Dan, biarkan aku menjelaskan. Karena mengetahui akan diadakan simulasi terorrisme di sini dia terbang satu jam lebih awal dan menyuruh istrinya datang lebih awal dan dia membunuh dengan cara yang sudah kujelaskan tadi."
"Tak ada bukti untuk itu." Bantah Mr. White.
"Cukup bukti, selain aku tak melihatm... ya mungkin kita berbarangan di koridor, tapi aku sunggu tak bersamamu saat berjalan di belalai pesawat."
"Aku berjalan menyusulmu!" Ujar Artur White makin panik.
"Itu sekedar menguatkan alibimu, Bukti yang lebih kuat seorang petugas melihatmu memakai rambut palsu dan barang bukti kau lenyapkan bersama Bubuk Sianida yang kau bakar bukan? Dan kau menutup hidungmu saat mendekati tempat kejadian bukan? seolah-olah kau tau asap itu bisa membunuhmu." Wajah Artur White terbelalak dan makinmemerah.

"Dan aku ingin kalian melihat," Ucapnya seolah membangkitkan rasa penasaran, "Bisa kau buka dan kau balik jasmu? barang kali kau bisa membantu?" Tatapnhya kepada Artur dan beralih kepada salah seorang petugas. Perlahan yang disebut belakangan bangkit dan membuka jas Artur White. Dengan cekatan dia membalik jas itu dan kembali mengenakannya ke tubuh tinggi Artur White dan tak terduga, jas yang tadinya berwarna hitam kini menjadi coklat tua.

"Ya dia pelakunya!" teriak petugas yang datang belakangan.
"Dan bila belum cukup bukti, kalian bisa memeriksa pesan yang mungkin ada di telpon genggam korban." Lanjut Dim Bakhtiar puas dan kembali menjatuhkan tubuh gemuknya di kursi nyaman di depan meja Budi Danuarta.

***

"hmm, aku kira cukup pantastis pemecahan kasus ini Dim! ternyata sel kelabumu belum sekelabu umurmu." Danuarta membuka percakapan.
"Dan aku harap kau tak merendahkanku lagi." Ucap lawan bicaranya terlihat lelah.
"Ya, mungkin ini bisa membayar keterlambatanmu!"
"Tapi aku meminta harga lebih untuk ini."


The End

Baca juga :

  • Digg
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Google
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • TwitThis

3 komentar:

obat herbal penyakit keputihan said...

seremmmm

toko bunga said...

Cerpen yang bagus, seharusnya jadi cerita berseri

kredit tanpa agunan said...

Cerpennya misteri dan ngga nyangka akhir ceritanya. bagus banget

Post a Comment

Blog ini dofollow, silahkan tinggalkan komentar untuk meningkatkan PageRank, tapi berkomentarlah dengan tertip dan sopan, agar komentar kamu bisa tampil dengan nyaman :)